hermankhaeron.info – Bandeng merupakan komoditi yang layak untuk diperhatikan pemerintah. Ini karena komoditas tersebut dianggap mampu menopang ketahanan pangan nasional. Berdasarkan penelitian para ilmuwan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2006, mencatat kandungan omega 3 bandeng dengan salmon disebut sebut lebih unggul bandeng perbandingannya 14,20 banding 2,60 persen.

Menurut Slamet Soebijakto, dirjen Perikanan Budidaya KKP, Indonesia memiliki area budidaya tersebar di tambak, KJA. Indonesia pun dikenal sebagai penghasil nener (benih bandeng) terbesar dunia, tiap hari 4 juta nener diekspor ke Filipina dan Taiwan. Khusus ari Bali bisa mencapai 1.5 miliar ekor per tahun.

Lebih lanjut dia mengatakan, produksi bandeng masuk dalam tiga komoditi terbesar di tanah air. Nila, lele dan bandeng masuk dalam fokus perhatian pemerintah karena menjadi ketahanan pangan nasional. Produksi bandeng 2015 mencapai 668,262 ton dengan nilai mencapai Rp 10.023 miliar. Tahun ini ditargetkan budidaya bandeng mencapai 720 ribu ton.

”Tiga Provinsi produsen bandeng terbesar selama ini dihasilkan oleh Jawa Timur (Jatim) produksinya mencapai 20.79 persen, lalu Sulawesi Selatan (Sulsel) 18.89 persen, dan Jawa Barat (Jabar) sekitar 14.71 persen,” ujar dalam workshop Perbandengan Nasional.

Langkah strategis dan fokus kegiatan dalam pengembangan industri bandeng nasion adalah salah satunya penyediaan bahan baku meliputi bibit dan induk unggul, pakan mandiri. “Lewat balai-balai yang kita miliki kami tengan menggenjot bibit dan induk unggul. Selama ini bibit unggul milik swasta di jual keluar negeri, dan kualitas nomor dua nya di budidayakan di dalam negeri,” ujarnya.

Hal itu juga yang membuat produksi bandeng di tanah air, lanjut Slamet, kalah dengan Filipina dan Taiwan. Ironisnya, benih dikirim dari Indonesia. “Kami juga menfasilitasi pembudidaya ke sektor perbankan untuk pembiayaan” tutup Slamet.

Rokhmin Dahuri, pendiri Masyarakat Akuakultur Indonesia mengatakan, peluang usaha bandeng tanah air sangat tinggi. Ini mulai dari produk olahan yang sangat diminati di dalam negeri, ekspor nener sampai sebagai umpan penangkapan tuna yang menggunakan alat tangkap huhate atau pole and line. “Untuk alat tangkap ini umpan yang digunakan adalah bandeng dengan ukuran 7-8 gram per ekor atau 100 – 150 ekor perkilogram,” terangnya.

Sementara untuk serapan pasar paling besar ditingkat rumah tangga mencapai 352.718 ton pertahun. Teknologi budidaya di dalam negeri masih tradisional dan semi intensif. Untuk tradisional diterapkan sebagian besar pembudidaya dengan hasil rata-rata 500 kg sampai dengan 1 ton per hektare (ha) per tahun. Sementara semi intensif bisa menghasilkan 3 ton per ha pertahun. “Tapi untuk semi intensif masih diterapkan sebagian kecil pembudidaya tanah air,” katanya.

Herman Khaeron, anggota DPR mengatakan, pemerintah memang harus konsisten untuk kebijakan yang dibuat. Pemerintah perlu diperbanyak pembudidaya bandeng di KJA laut dan Pen Culture agar kualitas lebih baik. Beberapa provinsi yang membutuhkan bantuan bibit nener atau bangun Pembenihan harus difasilitasi. “Kehadiran pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan produksi dan industrialisasi bandeng. Untuk anggaran kami siap mengawal untuk kesejahteraan nelayan dan pembudidaya,” ujarnya.

Workshop Perbandengan Nasional diikuti oleh stakeholder 50 orang baik hulu ke hilir. Pada kesempatan tersebut lebih dari 10 poin penting yang harus dikerjakan segera. Ini meliputi masalah regulasi ketetapan harga nener bandeng yang murah sehingga merugikan petani. Masalah ekspor nener, eksportir tidak kompak sehingga harga rendah ditempat tujuan, lalu kualitas nener perlu diperbaiki. Selain itu bandeng hasil produksinya kualitas rendah, bau lumpur, perlu dicarikan solusinya.