Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan Komisi II DPR RI berpandangan, poin tentang Pengadilan Pertanahan urgen untuk dimasukkan dalam RUU Pertanahan. Namun, Ketua Panja RUU Pertanahan Herman Khaeron memastikan, hal itu akan dilakukan dengan mengelaborasi berbagai pandangan yang diberikan Mahkamah Agung (MA).

“Tentu harus mengelaborasi dengan berbagai hal yang disampaikan oleh MA, agar tidak bertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya,” ujar  Herman usai memimpin Rapat Konsultasi Tim Panja RUU Pertanahan Komisi II DPR RI dengan jajaran Mahkamah Agung RI, di Gedung MA, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

Dalam Rapat Konsultasi yang membahas seputar pasal-pasal khusus tentang pembentukan Pengadilan Pertanahan itu, MA memberikan respon bahwa ada banyak pasal dan norma yang harus disinkronisasikan. Lebih lanjut, MA juga memberikan pandangan dari pasal dan norma yang sudah disepakati dalam Panja RUU Pertanahan, dimana ada banyak aspek yang jadi bahan pertimbangan.

Herman menambahkan, berbagai pasal dalam RUU Pertanahan itu harus ditempatkan dengan baik, sehingga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. “Tentunya, dalam rapat Panja selanjutnya akan kami tinjau kembali dan kemudian dielaborasi supaya betul-betul apa yang menjadi pandangan para hakim MA, akan menempatkan pasal-pasal yang tidak bertentangan dalam aplikasinya,” pungkas legislator Partai Demokrat ini. (pun/sf)

sumber: dpr

Komisi II Akan Perkuat Sisi Administratif dan Yuridis BPN

Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Herman Khaeron tak banyak berkomentar soal Rancangan Undang-undang atau RUU Pertanahan yang dikritik oleh sejumlah koalisi masyarakat sipil.

Herman yang juga ketua panitia kerja (Panja) RUU Pertanahan ini hanya mengatakan Dewan terbuka terhadap masukan-masukan dari pelbagai pihak. “Silakan diusulkan, kami terbuka untuk masukan dan pandangan dari publik,” kata Herman melalui pesan singkat, Selasa, 23 Juli 2019.

Sebelumnya sejumlah koalisi masyarakat sipil mengkritik dan menolak disahkannya RUU Pertanahan oleh DPR. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, masih banyak permasalahan substansial dalam RUU Pertanahan ini yang kontraproduktif dengan dengan semangat reforma agraria dan pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik.

Beberapa hal yang dipersoalkan di antaranya belum terjawabnya persoalan struktural ketimpangan penguasaan tanah, potensi terjadinya komodifikasi dan korporatisasi tanah dengan adanya konsep Bank Tanah, potensi perampasan hak atas tanah atas nama perubahan tata ruang dan kepentingan umum.

Kemudian ada pula persoalan dan pengakuan hak masyarakat adat yang dinilai masih diabaikan dalam RUU ini, penyelesaian secara komprehensif terhadap konflik agraria yang terjadi, tak adanya klausul untuk menyelaraskan regulasi pertanahan yang tumpang tindih, tak ada jaminan keterbukaan informasi, dan sebagainya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengatakan RUU Pertanahan ditargetkan rampung di periode ini. “Harapannya sebelum Oktober sudah rampung,” kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 2 Juli lalu.

Sumber: tempo

RUU Pertanahan Akan Beri Rasa Keadilan Bagi Rakyat

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan merupakan inisiatif DPR RI yang sudah dimulai sejak tahun 2012, dan sudah masuk pada Prolegnas Prioritas periode 2009-2014. Kalau menghitung tahun, sampai hari ini RUU Pertanahan sudah 7 tahun berjalan.  Karena di DPR tidak mengenal luncuran ataupun extend terhadap sisa pembahasan anggaran di periode sebelumnya, tentu masuk kembali di Prolegnas periode tahun 2015-2019, kemudian menjadi prioritas pada tahun 2015.

Terkait RUU Pertanahan yang saat ini masih digodok di Komisi II, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron menyatakan bahwa RUU itu nantinya akan lebih memberikan rasa keadilan pertanahan bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Dalam periode ini RUU Pertanahan sudah empat tahun berjalan dan harus dirumuskan kembali di masa periode selanjutnya. Dalam pandangan saya sebagai anggota DPR, sangat kurang tepat kalau ada yang berpandangan untuk menghentikan atau menunda. Tetapi marilah kita sempurnakan,” ujar Herman, dalam acara diskusi Forum Legislasi yang mengangkat tema ‘Tarik Ulur UU Pertanahan’ di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/7/2019).

Urgensi dari RUU Pertanahan, sambungnya, karena saat ini tanah telah menjadi barang sangat mahal. Padahal kalau merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 jelas disebutkan, yang dimaksud dengan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Kalau untuk akses terhadap tanahnya saja tidak bisa, bagaimana masyarakat desa makmur,” tandasnya.

Herman menyampaikan, kalau membaca secara mendalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA), maka tidak cukup mampu untuk memberikan rasa keadilan di bidang pertanahan bagi masyarakat luas. “Oleh sebab itu saya mengedepankan bahwa UU ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Selain itu, ini adalah amanat TAP MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” terangnya.

Menurutnya, hal itu adalah amanat yang sudah lama dan harus diwujudkan di dalam peraturan perundang-undangan yang mencukupi dan memadai agar bisa mengatur sektor pertanahan yang di dalamnya juga terkandung sumber daya alam. “Kalau merujuk kepada UU PA tahun 1960, pasca undang-undang itu berlaku sampai saat ini, banyak sekali undang-undang yang bernuansa sektoral,” ujar Herman.

Dikatakannya, perubahan situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta perubahan paradigma di pemerintahan membutuhkan juga penyesuaian. Banyak yang mengkritik bahwa Undang-Undang Pertanahan akan mengubah UU PA yang dianggap konsisten terhadap keadilan pertanahan bagi masyarakat.

“Kami konsisten,  tidak merubah UU PA Nomor 5 Tahun 1960, karena kami konsisten terhadap keadilan di bidang pertanahan. Konsepsinya, kami meletakkan UU PA Nomor 5 Tahun 1960 sebagai lex generalis, yaitu sebagai undang-undang umum. Sehingga kesetaraan terhadap perundang-undangan yang saat ini menjadi peraturan perundang-undangan itu kami jaga juga,” tuturnya. Sementara, tambahnya, UU Pertanahan didudukan sebagai lex specialist, yang mengatur rasa keadilan pertanahan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk pemanfaatannya.

“Yang kedua, mensinkronkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, karena banyak munculnya undang-undang sektoral yang terkait dengan pertanahan dan sumber daya alam. Selain itu, tentu kami ingin memberikan kepastian hukum kepada siapapun, baik kepada investasi, pemilik tanah, ataupun  kepada yang berkepentingan dengan pertanahan. Sebab memberikan kepastian hukum ini penting, dengan status hukum yang pasti tentu juga akan mengurangi konflik pertanahan yang saat ini banyak terjadi,” pungkasnya. (dep/es)

sumber: dpr

[Video] DPR RI Dorong RUU Pertanahan Segera Disahkan

NARSUM : HERMAN KHAERON / Wakil Ketua Komisi II DPR RI / FPD / Dapil JAWA BARAT VI I

NDRA ISKANDAR / SEKJEN DPR RI (TVR Parlemen – Biro Pemberitaan Parlemen – SETJEN DPR RI)

Live Streaming : www.dpr.go.id Twitter : @DPR_RI FB : DPR RI Youtube : DPR RI (TIM IT & SOSMED)

Pada 21 Februari 2019, Herman Khaeron Menjadi Pembicara Pada FGD RUU Pertanahan di UGM Yogyakarta.

Tanah adalah hajat hidup masyarakat, perlu diatur oleh Undang-Undang yang pro rakyat dan teregristrasi dalam satu lembaga negara (single land registration system).

Herman Khaeron RUU Pertanahan Harus Segera Dituntaskan

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron menegaskan, Rancangan Undang-Undang Pertanahan harus segera diselesaikan. Mengingat penataan dan pengaturan pertanahan ini nantinya bisa memberikan kontribusi dan manfaat yang besar bagi rakyat.

Untuk itu, Komisi II DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) guna menyerap aspirasi dan masukan terkait RUU Pertanahan dengan Direktur Utama PTPN III beserta anak perusahaannya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), serta Panitia Kerja RUU tentang Pertahanan dari pemerintah di Ruang Rapat Komisi II, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (10/1/2019).

“Bentuk pengaturan untuk undang-undang pertanahan memang sudah ada, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) Nomor 5 Tahun 1960. Tapi kami menganggap terlalu umum, sehingga harus ada undang-undang yang lebih spesial. UU PA Nomor 5 tahun 1960 tetap ada sebagai lex generalis. Kemudian lex spesialis-nya adalah kami ingin menuntaskan Rancangan Undang-Undang Pertanahan ini,” tegas Herman.

Mengapa harus segera dituntaskan, menurut Herman banyak persoalan dan pertanyaan terkait permasalahan pertanahan yang harus dijawab. Misalnya, bagaimana masa depan dengan pertanahan. Ditambahkan legislator Partai Demokrat itu, penggunaan tanah saat ini sudah menggunakan media ke atas dan ke bawah. “Bagaimana pengaturannya, berapa kedalamannya, berapa ketinggiannya kemudian atas tanahnya tersebut seperti apa pemberian hak alas tanahnya,” tambahnya.

Terlebih lagi persoalan pemberian hak pakai atau Hak Guna Usaha (HGU) terhadap perkebunan yang begitu luas, sedangkan tanah di negara ini sangat terbatas. Indonesia sendiri memang negara besar, tetapi dua pertiganya adalah lautan. Sehingga penting juga pengaturan UU Pertanahan memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat Indonesia yang jumlahnya terus bertambah yang saat ini mencapai 250 juta jiwa.

“Yang pasti kami sudah merumuskan drafnya dan sudah selesai di DPR, pemerintah sudah mengajukan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) sebagian sudah kami bahas. Jumlahnya mencapai 928 DIM, dan ini harus diselesaikan pada masa periodisasi saat ini sampai nanti akhir Oktober 2019,” pungkas legislator dapil Jawa Barat VIII itu. (es/sf)