DPR RI Sarankan Pengurusan Perpanjangan HGU Perkebunan Milik BUMN Dibebaskan

Agar tidak menjadi beban untuk melakukan akselarasi kegiatan, DPR RI menyarankan biaya dalam pengurusan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan milik negara (BUMN) dibebaskan.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron saat mengunjungi PTPN VII, yang mana selama ini biaya pengurusan perpanjangan HGU dianggap cukup besar dan sangat membebani BUMN, akhirnya banyak BUMN yang menunda pengurusan.

“BUMN lebih memilih untuk pengembangan usahanya, dibandingankan perpanjangan HGU,” katanya melalui rilis yang diterima Tribun, Minggu 4 November 2018.

Lanjut Herman, kedatangannya ke PTPN VII untuk mengetahui secara pasti kondisi lapangan perusahaan BUMN ini. Ia mengatakan, banyak masalah yang terjadi di BUMN Perkebunan yang menjadi perhatian Komisi II karena langsung bersentuhan dengan masyarakat.

“Kita paham PT Perkebunan Nusantara ini, termasuk PTPN VII adalah perusahaan agro yang padat karya dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Maka, tak heran masalah yang muncul dan sampai ke Komisi II DPR RI. Mulai dari upah, tenaga kerja, dan yang cukup banyak dan
urusannya pelik adalah sengketa tanah,” paparnya.

Ia menjelaskan, nasib PTPN VII masih lebih baik dibanding beberapa PTPN dalam holding. Meskipun sedang terlilit kredit investasi, PTPN VII masih sanggup untuk membayar dan menunjukkan grafik membaik.

“PTPN VII menjadi salah satu yang menjadi perhatian, tetapi saya
melihat grafiknya sudah membaik. Kami mendorong agar lebih baik lagi, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Operasional PTPN VII Ahmad Husairi menjelaskan kondisi aktual perusahaan, yang mana dengan mengelola lahan sekitar 132 ribu hektare di tiga provinsi yakni Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu, kondisi perusahaan sedang menghadapi masalah cash flow financial.

“Kami sampaikan, bahwa perusahaan sedang dalam proses pemulihan setelah beberapa tahun terakhir masalah cash flow financial. Investasi besar pada masa lalu tidak tumbuh seperti yang diproyeksikan. Ini adalah risiko bisnis agro industry yang bergantung dengan cuaca, keadaan alam, dan harga global,” ungkapnya. (rls)

sumber: tribun