Beras Satu Harga (BSH) yang diinisiasi oleh Perum Bulog perlu didukung pemerintah untuk diperluas implementasinya ke seluruh pelosok Tanah Air, sebagaimana dilakukan pada program BBM Satu Harga. Beras komoditas sangat strategis karena merupakan makanan pokok yang dibutuhkan rakyat, berkontribusi besar terhadap garis kemiskinan terutama di perdesaan, dan memengaruhi inflasi yang mendorong tingginya bunga kredit bank hingga menurunkan daya beli masyarakat.
Bila pemerintah memperkuat Perum Bulog, implementasi BSH dengan harga terjangkau bisa dilakukan hingga ke wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T), sebagaimana program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga. Program BBM Satu Harga ini menetapkan harga BBM untuk jenis premium JBKP (jenis BBM khusus penugasan) Rp 6.450 per liter dan solar/biosolar JBT (jenis BBM tertentu) Rp 5.150 per liter.
Penguatan Bulog itu juga bisa melawan mafia pangan internasional yang berjejaring dengan mafia dalam negeri untuk menguasai pasar Indonesia yang besar dan merusak kedaulatan pangan nasional. “Itulah sebabnya, kami mendukung penuh langkah Bulog untuk membuat BSH, pemerintah pun hendaknya mendukung inisiasi Bulog tersebut Bulog sangat berpengalaman menyalurkan beras yang dulu namanya raskin (beras untuk rumah tangga miskin) — belakangan disebut rastra (beras sejahtera) –, selama bertahun- tahun harga sebenarnya Rp 7.000 per kg atau lebih sedangkan harga tebus Rp 1.600 per kg dengan selisih ditanggung pemerintah.
Harga tebus raskin di seluruh Indonesia sama, satu harga, kalaupun nanti ada kebijakan BSH itu sangat mudah bagi Bulog sebagai lembaga yang selama ini menangani masalah pangan,” kata Anggota Komisi IV DPR Herman Khaeron di Jakarta, belum lama ini. Herman mengungkapkan, Bulog bisa melaksanakan hal tersebut karena perusahaan pelat merah itu memiliki jaringan yang luar biasa panjang, hingga menjangkau titik terkecil wilayah Indonesia. Di tiap provinsi Bulog memiliki divisi regional (divre) dan di tingkat lebih sempit subdivre.
“Kalau ini (BSH) nanti menjadi penugasan dari pemerintah kepada Bulog, maka pemerintah tinggal memberikan privilege dalam hal budgeting. Tidak usahlah pakai penyertaan modal negara (PMN), kasih saja seluruh pengelolaan program bantuan pangan nontunai (BPNT) kepada Bulog, baik sebagai pemasok maupun distributor tunggal, jangan dikelola Kementerian Sosial,” ucap Herman.
Dia menjelaskan, meskipun penguasaan beras Bulog dibandingkan seluruh beras yang beredar di Indonesia masih relatif minim yakni 10% atau sekitar 3 juta ton, namun dampak kehadiran Bulog begitu terasa. Tanpa ada Bulog dengan raskin/rastra, lanjut dia, kondisi perberasan nasional cenderung acak-acakan. “Bulog hadir bukan semata menstabilkan harga namun juga untuk melawan kapitalis pasar bebas beras, melawan kartel. Karena itu, beri keleluasaan penyaluran beras Bulog, penyaluran massal, termasuk BSH ini. Bulog kuat, maka kartel mati,” tandas Herman.
sumber: investor.id