hermankhaeron.info – Indramayu selama ini dikenal dengan lumbung padi Jawa Barat. Dengan produksi sekitar 1,03 juta ton (2006), Indramayu menyumbang sekitar 11% produksi padi Jawa Barat (9,4 juta ton), atau sekitar 2% produksi padi nasional (sekitar 57 juta ton). Tingginya produksi padi Indramayu ini disebabkan oleh luasnya lahan sawah yang ada. Dari luas wilayah Indramayu yang mencapai 204 ribu ha, 114 ribu ha (55%) di antaranya adalah lahan sawah. Dengan luas sebesar itu, Indramayu menempati urutan pertama di Jawa Barat. Posisi ke dua ditempati oleh Karawang dan Subang. Bukan hanya dari sisi luas lahan, dari sisi produktivitas pun, Indramayu masih menempati urutan pertama, dengan produktivitas sekita 5,5 ton per ha (2006).

Sektor pertanian merupakan salah satu pilar penting penggerak perekonomian Indramayu. Data tahun 2002 menunjukkan kontribusi sektor ini terhadap PDRB Indramayu mencapai 16%, atau penyumbang terbesar ke tiga setelah sektor migas (45%) dan industri (22%). Meskipun pada tahun-tahun berikutnya, peran sektor ini semakin menurun. Pada tahun 2007, sektor pertanian menyumbang sebesar 14% PDRB. Namun, jika tidak memperhitungkan sektor migas, pertanian merupakan penyumbang terbesar PDRB Indramayu, yakni sebesar 38% (2007).

Selain itu, sektor pertanian juga menyerap sekitar 52% tenaga kerja. Artinya, sektor pertanian merupakan representasi dari kegiatan ekonomi ril masyarakat Indramayu. Dengan membangun sektor ini, selain akan meningkatkan pendapatan perkapita, juga akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Pertanyaannya, apakah potensi ekonomi pertanian yang sedemikian besar itu juga berkorelasi positif terhadap kesejahteraan petani Indramayu?

Paradoks Pertanian Indramayu

Data dari BPS Indramayu yang dilansir oleh Kompas pada tahun 2007 lalu menunjukkan bahwa sektor pertanian menyumbang kemiskinan terbesar di bumi Wiralodra ini. Sekitar 169 ribu (atau sepertiga) rumah tangga di Indramayu tercatat sebagai rumah tangga miskin (termasuk kategori sangat miskin, miskin dan hampir miskin). Hasil penelitan dari Corebest yang digagas oleh Paguyuban Petra Mekar pada tahun 2006 lalu juga memberikanstatement yang senada : «sektor pertanian adalah sumber lapangan usaha terbesar sekaligus juga merupakan sektor penyumbang kemiskinan terbesar».Di satu sisi kita bangga dengan potensi pertanian padi di Indramayu yang sangat besar, di sisi lain, sektor ini masih menyisakan ironi berkepanjangan.

Beberapa penyebab persoalan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sempitnya lahan yang dimiliki oleh petani. Kita tahu bahwa sektor pertanian tradisional sangat bergantung pada luas lahan. Meski secara agregat Indramayu memiliki lahan pertanian yang cukup luas, akan tetapi jika kita bagi terhadap jumlah petani yang ada, luas itu belumlah cukup untuk membuat penghasilan petani bisa kompetitif dibanding pekerja di sektor lain.

Data tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 60% petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Bahkan 36% di antaranya hanya memiliki lahan di bawah 0,25 ha. Untuk petani kategori pertama hanya memiliki pendapatan rata-rata sekitar Rp. 750 ribu per bulan, sedangkan yang ke dua hanya menikmati pendapatan sekitar Rp. 400 ribu per bulan. Angka ini jauh di bawah UMR dan, sudah tentu, jauh dari hidup layak. Belum lagi kalau kita tengok nasib petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki lahan sama sekali. Sampai tahun 2007, tercatat sekitar 111 ribu petani penggarap dan 314 ribu buruh tani. Pendapatan buruh tani hanya sekitar Rp. 165 ribu per bulan. Kedua kelompok petani ini hanya menikmati sekitar 15% dari keuntungan usaha tani.

Ke Dua, produktivitas tahunan lahan pertanian yang belum maksimal. Ada dua penyebab. Pertama, bancana banjir tahunan yang kerap melanda Indramayu, yang dapat menyebabkan terganggunya produktivitas lahan. Ke dua, irigasi yang belum menjangkau seluruh wilayah. Sampai tahun 2007, baru sekitar 65% yang merupakan sawah dengan irigasi teknis, sisanya masih tadah hujan. Akibatnya, beberapa wilayah di Indramayu, terutama bagian timur (Kec. Krangkeng dan sekitarnya), hanya bisa panen sekali dalam setahun karena ketidaktersediaan air. Jelas ini akan mereduksi pendapatan petani hingga separuhnya.

Ke Tiga, buruknya tata niaga produk pertanian. Ini bukan persoalan Indramayu semata, melainkan persoalan petani di Indonesia secara umum. Menurut Bustanul Arifin (2007), ada tiga topik besar mengenai persoalan buruknya tata niaga ini, namun di sini hanya diulas dua topik yang relevan. Yang pertama adalah struktur pasar yang tidak sehat, yang dicirikan oleh disparitas harga gabah dan beras yang cukup tinggi. Kita tahu bahwa petani, selain sebagai produsen padi, mereka juga adalah konsumen beras. Jika harga gabah terlalu rendah, sementara harga beras terlalu tinggi, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen, petani tetap akan dirugikan. Posisi tawar mereka pun lemah dalam penentuan harga, karena minimnya informasi (asimetri informasi) yang disebabkan oleh ketertutupan proses kebijakan dan perbedaan akses yang dimiliki oleh para pelaku tata niaga.

Topik yang ke dua adalah ketidakjelasan kebijakan stabilisasi harga. Pasca Orde Baru, tidak ada lagi penetapan harga dasar (floor price) untuk gabah dan harga atap (ceiling price) untuk beras. Inpres no.2/2005 menghapus istilah ‘harga dasar’ menjadi ‘harga pembelian pemerintah (HPP)’ yang sama sekali tidak bisa mengamankan harga gabah petani. Bulog pun kini tidak sepenuhnya bisa diandalkan, mengingat perannya kini sebagai BUMN yang juga dituntut untuk menghasilkan laba. Karenanya, resiko akibat fluktuasi dan disparitas harga yang merugikan petani sangat mungkin terjadi.

Peran Pemerintah Daerah

Berbeda dengan sektor lainnya, pertumbuhan sektor pertanian lebih didorong oleh investasi masyarakat (community investment), yang mungkin tidak akan tercatat di lembaga pemerintahan. Sejauh ini, investasi masyarakat diperkirakan mencapai 68%, sedangkan kontribusi pemerintah hanya sekitar 24% dan swasta hanya 8%. Oleh karenanya, peran efektif Pemerintah (Daerah) pada dasarnya terletak pada upaya mendorong investasi masyarakat di sektor pertanian, dengan menciptakan iklim ‘usaha’ pertanian yang kondusif. Upaya itu bisa dilakukan dengan beberapa hal berikut.

Pertama, peningkatan infrastruktur pengairan, baik dalam bentuk waduk penyimpanan maupun irigasi. Peningkatan infrastruktur ini terutama diarahkan untuk (a) mengatasi persoalan debit air yang berkurang pada musim kemarau dan berlebih pada saat musim penghujan, serta (b) mampu menjangkau seluruh wilayah Indramayu.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, sebanyak 35% lahan sawah belum memiliki irigasi teknis. Lahan-lahan ini hanya mengandalkan tadah hujan dan biasanya hanya bisa panen sekali dalam setahun, khususnya wilayah di sekitar Kecamatan Krangkeng dan sekitarnya. Dengan luas lahan sekitar 38 ribu ha (35% dari 110 ha) dan produktivitas sekitar 5,5 ton/ha, maka potensi ekonomi yang hilang adalah sebesar 209 ribu ton. Anggap harga gabah per kg Rp. 2.000, maka nilai kerugiannya bisa mencapai Rp. 418 milyar per tahun, atau hampir separuh dari APBD Indramayu tahun 2007. Angka ini belum memperhitungkan kerugian akibat banjir yang datang hampir setiap tahun. Oleh karena itu, perlu upaya percepatan peningkatan infrastruktur tersebut. Pemerintah Daerah harus proaktif untuk menggandeng berbagai lembaga pemerintah terkait untuk segera mengatasi persoalan ini sesegera mungkin.

Ke dua, memperbaiki tata niaga padi di tingkat lokal. Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa posisi petani sangat lemah dalam penentuan harga. Harga gabah lebih ditentukan oleh pedagang/bandar. Sementara itu, harga dasar (floor price) juga sudah tidak diberlakukan lagi oleh Pemerintah (Pusat), sehingga sangat rentan terhadap permainan harga di lapangan. Ditambah lagi, informasi yang dimiliki petani juga sangat minim, sehingga struktur pasar menjadi asimetri (yang diuntungkan hanya pelaku ekonomi tertentu). Oleh karena itu, sudah sepatutnya Pemerintah Daerah turut mengatasi ‘kegagalan pasar’ tersebut, dengan membuka ruang informasi seluas dan se-transparan mungkin bagi semua pelaku ekonomi. Pemerintah Daerah harus bisa menjembatani antara petani dan pedagang.

Ke tiga, menciptakan jejaring lembaga pendukung pertanian, misalnya lembaga permodalan. Dengan pendapatan yang relatif rendah, sudah bisa dipastikan petani akan mengalami kesulitan permodalan menjelang masa tanam berikutnya. Untuk itu, perlu ditumbuhkan lembaga-lembaga keuangan mikro (non bank) yang memberikan kredit lunak (berbunga rendah) kepada para petani. Tentu, lembaga semacam ini akan sulit tumbuh jika kepastian pengembalian modal petani sangat rendah. Karenanya, kedua upaya sebelumnya harus bisa direalisasikan. Selain itu, peranan BUMN yang beroperasi di daerah juga sangat diharapkan dalam menciptakan lembaga bantuan keuangan mikro, seperti PKBL Pertamina UP-VI Balongan.

Ke empat, meningkatkan nilai tambah produk pertanian, misalnya dengan (a) pengembangan pertanian organik, (b) pengemasan (packaging) produk beras kualitas terbaik, (c) pengembangan produk tepung beras untuk suplai industri-industri makanan. Ketiga upaya tersebut harus didukung oleh (a)branding (pengembangan merek) dan (b) skala keekonomian yang memadai. Sebagai ikon pertanian padi Jawa Barat, sudah sepatutnya Indramayu mampu mengembangkan ‘merek’ sendiri (seperti beras cianjur). Tinggal persoalan selanjutnya adalah bagaimana Pemerintah Daerah dan swasta bersama-sama membangun akses pasar (marketing) bagi produk-produk pertanian padi Indramayu.

Dengan keempat upaya tersebut, mudah-mudahan kebanggaan akan potensi pertanian Indramayu berbuah kesejahteraan bagi masyarakatnya. Amin.