E. Herman Khaeron: Berjuang Wujudkan Percepatan Kemandirian Pangan

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Herman Khaeron merisaukan kenaikan harga minyak dunia saat ini karena diperkirakan akan menjadi beban bagi masyarakat dan keuangan negara jika pemerintah tidak mampu menemukan formulasi penanganan yang efektif.

Pertama jelas Herman, kenaikan minyak dunia biasanya juga menggerek harga batubara dan gas yang semuanya sebagai energi primer bagi pembangkit.

Dengan biaya produksi yang membengkak, tentu nantinya akan ada tekanannya terhadap sektor listrik untuk penyesuaian tarif listrik. Jika tarif listrik tidak dinaikkan, kemungkinan keuangan PT. PLN akan semakin babak belur.

“Kenaikan minyak juga biasanya akan mengerek harga batubara sehingga implikasinya kepada tarif listrik juga karena harga energi primer juga tinggi,” kata Herman di Jakarta, ditulis Selasa (14/11).

Aspek yang kedua, lanjut Herman, Pertamina juga semakin mengalami gangguan finansial jika pemerintah tidak menyetujui harga BBM Penugasan. Selain itu beban APBN terhadap subsidi juga akan membengkak.

“Begituppun dengan Pertamina, kendati Premium sudah dilepas kepada harga pasar hingga hanya solar yang disubsidi, namun ujungnya akan membebankan masyarakat karena kenaikan minyak dunia akan mendesak Pertamina untuk menaikan harga BBM,” ujar dia.

Kegelisahan untuk penyesuaian harga BBM penugasan ini telah lama diharapkan oleh direksi Pertamina, bahkan sebelum harga minyak dunia melonjak diatas USD 60 per barel, Pertamina telah mengatakan bahwa labanya berkurang akibat tidak ada penyesuaian harga BBM penugasan dari pemerintah.

Laporan kinerja PT. Pertamina pada triwulan III mencatatkan penurunan laba bersih atau net income sebesar 27 persen dibanding dengan triwulan yang sama tahun lalu.

Pada triwulan ini Pertamina hanya mampu membukukan sebesar USD 1,99 miliar atau Rp 26,8 triliun (kurs Rp. 13.500/USD), sedangkan pada triwulan tahun lalu pertamina mencatat sebesar USD 2,83 miliar.

Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik mengatakan penurunan ini karena tidak ada penyesuaian harga dari pemerintah, sehingga pertamina mengalami lost potensi revenue USD 1.42 Billion.

“Kebijakan harga ditentukan pemerintah. Pertamina kan milik pemerintah 100 %. Kita bisa lihat gambarannya secara objektif. Di tahun 2016, kuartal III harga crude Indonesia price (ICP) rata-rata sembilan bulan di 2016 itu USD 38 atau USD 37,88. Tapi 2017 rata-rata selama sembilan bulan naik 30 %,” kata Elia di Jakarta, Kamis (2/11).

“Tentu harga naik ini kita tentunya tadinya berharap ada penyesuaian harga sesuai kesepakatan per tiga bulan. Sesuai formula, mustinya revenue kita ada di USD 38 billion. Karena tidak disesuaikan jadi hanya USD 31,38 billion. Ini hampir USD1,5 miliar atau sekitar Rp. 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga tidak disesuaikan,” kata Elia.

Sementara diketahui harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Senin (13/11) berakhir di level tertingginya dalam dua setengah tahun terakhir.

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember ditutup 2 sen lebih tinggi di USD 56,76 per barel di New York Mercantile Exchange.

Adapun harga minyak Brent untuk pengiriman Januari ditutup melemah 36 sen di USD 63,16 per barel di ICE Futures Europe exchange yang berbasis di London.

Menurut laporan bulanan OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak tersebut meningkatkan perkiraannya untuk jumlah yang akan perlu dipompa untuk memenuhi permintaan tahun depan sebesar 400.000 barel per hari menjadi 33,4 juta per hari.

“Dengan OPEC menaikan perkiraannya, ada ekspektasi bahwa pasar menjadi lebih ketat. Kita telah bergerak dari kelebihan suplai menjadi lebih seimbang,” ujar Phil Flynn, analis pasar senior di Price Futures Group Inc, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (14/11)

sumber: reportaserakyat