Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih menyoroti implementasi reforma agraria pada acara kunjungan kerja di Kantor Pertanahan Kabupaten Cirebon (21/8/2018). Alamsyah yang hadir bersama rombongan Komisi II DPR dipimpin oleh Wakil Ketua, Herman Khaeron menyebutkan, terjadinya potensi kenaikan konflik pertanahan dari tahun ke tahun.

Alamsyah menambahkan laporan terkait kasus pertanahan berpotensi menjadi yang nomor satu di Ombudsman  pada tahun ini, atau paling tidak selalu berada pada deretan tertinggi laporan ke Ombudsman. Sebelumnya, Ombudsman yang diundang dalam acara kunjungan kerja spesifik Komisi II DPR RI diminta untuk menyoroti permasalahan terkait pertanahan dan pelayanan publik di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat.  Acara tersebut dihadiri juga oleh kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Haneda Sri Lastoto dan Kakanwil BPN Jawa Barat Yusuf Purnama.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Herman Khaeron dalam diskusi dan dengar pendapat bersama Plh. Kepala Kantah Kantor Pertanahan Kabupaten Cirebon menyebutkan, masih ada beberapa permasalahan terkait reforma agraria yang perlu menjadi perhatian. Salah satu yang disoroti adalah terkait Tanah Negara Bebas.

Herman menilai, Kantor Pertanahan seharusnya memiliki data dan informasi terkait Tanah Negara Bebas untuk dikembangkan oleh masyarakat. Tanah Negara Bebas dapat dikelola oleh masyarakat menjadi lahan produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Ia juga akan memberi masukan kepada kementerian terkait mengenai kejelasan Portofolio Agraria dan Tata Ruang .

Mencermati hal itu, Alamsyah Saragih yang sekaligus menjadi anggota pengampu Ombudsman Jawa Barat mengatakan bahwa Kementerian ATR BPN bersama Kantor Pertanahan di daerah perlu melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah untuk membahas tata ruang daerah yang sampai saat ini belum jelas pemetaannya. Belum jelasnya pemetaan tanah bisa menjadi biang konflik karena beberapa permasalahan pertanahan sering diselesaikan secara tidak tertulis sehingga menjadi bom waktu dari tahun ke tahun.

Konflik tersebut bisa timbul dari internal (keluarga) maupun pihak eksternal dimulai dari pembagian hak waris yang tidak tertulis, peruntukan tanah yang tidak sesuai sampai pada hilangnya data-data alas hak di Desa/Kelurahan dan Kecamatan.

Selain itu, hal lain yang disoroti adalah terkait dengan peran Camat sebagai PPAT di Kecamatan yang merangkap sebagai Camat secara kewilayahan/pemerintahan menimbulkan rawan kepentingan/keberpihakan. Alamsyah menilai, pihak Kantor Pertanahan perlu juga merangkul Desa/Kelurahan dalam proses pemetaan tanah. Hal ini akan mengurangi potensi terjadinya konflik. (ORI-Jabar)

sumber: ombudsman