hermankhaeron.info – Jerih payah petani kopi Jawa Barat kini berbuah manis. Mereka tidak hanya mampu menghidangkan kopi yang nikmat, tetapi juga berhasil membawa pulang warga rantau hingga mengharumkan nama Indonesia.
Suhu rumah kaca berbahan plastik tebal di Kampung Kolelaga, Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mencapai 40 derajat celsius, Senin (23/5/2016) siang.
Namun, Ayi Sutedja (51), petani kopi sekaligus pemilik rumah kaca tidak terganggu. Berbaju hitam lengan panjang, ia tekun membolak-balik biji kopi arabika yang terhampar di rak bambu beralas jaring plastik.
“Tahun lalu, biji dari pohon yang sama laku dilelang 55 dollar AS di Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo di Amerika Serikat,” katanya.
Dalam lelang kopi terbesar di Amerika Serikat, kopi gunung puntang milik Ayi mendapat nilai uji cita rasa 86,25. Beragam aroma buah tropis, sedikit asam, hingga manis di akhir seruputan membuat kopi itu menjadi yang terbaik di antara 17 jenis kopi spesial Indonesia.
Kopi gunung puntang sebelumnya nyaris tak terdengar. Kopi ini ditanam di lembah antara Gunung Puntang dan Gunung Tilu di Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Namanya tenggelam di antara kopi sumatera, papua, bali, hingga sulawesi. Lima tahun lalu, Ayi bahkan masih bekerja sebagai kontraktor listrik.
Ayi mengatakan, tradisi menanam kopi sudah lama dilakukan warga setempat. Namun, karena pembelian tengkulak yang hanya Rp 2.500 per kilogram, petani tidak bergairah menanam. Kopi hanya menjadi tanaman selingan atau sekadar tanaman pagar.
Pertemuannya dengan petani kopi dan pembibit lokal di kaki Gunung Puntang pada 2011 menjadi awal perjalanannya. Punya hobi naik gunung, Ayi yakin kopi tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjaga lingkungan.
Lewat buku dan masukan dari petani kopi lain, ia belajar otodidak menanam kopi buhun (tua) dari lereng Gunung Guntur, Garut. Untuk mendapatkan hasil terbaik, ia menanam 1.000 pohon per hektar agar bisa dipanen 1-2 kg per pohon.
Ayi juga tak menggunakan pupuk kimia. Pohon pelindung berakar kuat seperti avokad hingga jambu ditanam melindungi kopi dari terik sinar matahari. Pola itu mencegah longsor di kawasan yang dulu ditanami sayuran.
“Saat panen pertama atau empat tahun setelah ditanam, kopi ini memberi kesejahteraan petani dan melindungi lingkungan sekitar,” kata Ayi.
Kejayaan masa lalu
Sukses kopi Jabar ini seperti mengulang kejayaan masa lalu. Ditanam sejak 1699, hasil penjualannya ke Eropa. Saking tenarnya, kopi Jabar pernah dikenal di Eropa dengan nama A Cup of Java (Secangkir Kopi dari Jawa). Namun, pada pertengahan 1800-an, kopi di Jabar banyak mati karena serangan hama karat daun.
Namanya baru muncul lagi sekitar 1997 saat beberapa perkebunan kecil kembali muncul. Pada 2012, kopi Jabar kembali diekspor ke Eropa. Data Dinas Perkebunan Jabar mencatat, dalam kurun waktu 2012-2015, ekspor biji kopi mencapai 187 ton dengan nilai 1,3 juta dollar AS. Keinginan belajar para petaninya menjadi salah satu kunci sukses itu.
Ayi tidak sendirian. Ada 113.766 petani Jabar yang menggarap kopi di lahan seluas 32.000 hektar. Salah satunya Wildan Mustofa (49), petani kopi di Bandung Barat.
Setahun terakhir, ia berharap besar pada kopi yang diberi nama Frinsa. Berasal dari enam pohon kopi, kopi itu diduga antara jenis sigararuntang dan jenis kopi lain yang awalnya ditemukan tumbuh liar.
“Setelah dirawat, hasil panen Frinsa sekitar 2 kg per pohon. Kualitasnya teruji saat menjadi yang terbaik dalam Lomba Kopi Unggul Nasional 2015 di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jawa Timur,” katanya.
Wildan juga memulainya dari dasar, empat tahun lalu. Ia menjelajahi beberapa daerah penghasil kopi Nusantara. Dari Sumatera Utara, ia yakin jenis sigararuntang cocok ditanam di Gunung Halu. Kopi ini baik ditanam di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut dan memiliki curah hujan tinggi.
Dari Bali, ia menemukan kekuatan jenis kopyol. Kopi ini bisa tumbuh di bawah kanopi pohon rindang. Cara itu menjadi solusi terbaik menanam kopi tanpa menebang pohon besar yang sudah ada sebelumnya di kawasan itu.
Ilmu baru itu lantas ia terapkan di kebun miliknya di Mekarwangi dan Weninggalih, di Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat. Hasilnya memuaskan. Panen kopi di dua kebunnya berhasil menjadi terbaik kedua dan ke-17 dalam SCAA 2016.
“Jelas bangga memiliki kopi berkualitas dunia. Namun, melihat warga sekitar kebun hidup sejahtera dan guyub itu jauh lebih bahagia,” kata Wildan yang kini dibantu sekitar 50 warga sekitar kebun.
Salah seorang warga yang merasakan nikmat itu adalah Hamim (44), warga Kampung Pasanggrahan, Desa Weninggalih. Saat kopi memperbaiki kebutuhan ekonominya, ia lebih peduli pada orang sekitarnya.
Tahun ini ia punya kesibukan baru. Kini, Hamim terbiasa melahap jarak 30 km dari rumahnya mengantar tetangga yang sakit ke Rumah Sakit Cililin. Tak hanya itu, ia juga membantu tetangganya mengurus pendaftaran hingga administrasi pembayaran.
“Dulu hidup saya terlalu berat. Tak terpikir untuk menolong,” kata Hamim yang tinggal sekitar 1 km dari kebun kopi Weninggalih.
Dibayar murah
Ingatan Hamim kembali pada kenangan sekitar 20 tahun lalu saat merantau ke Jakarta. Lulusan SMP ini hanya diterima bekerja sebagai buruh bangunan. Kerjanya berat, tetapi dibayar murah. Penghasilan tertingginya hanya Rp 30.000 per hari.
Harapan itu terbuka saat Wildan membuka kebun kopi di Sindangkerta pada 2011. Ia nekat pulang kampung menjadi pengangkut panen kopi. Pendapatannya kini lebih baik. Saat panen, ia bisa mendapat penghasilan 10 kali lipat lebih besar ketimbang menjadi buruh bangunan.
“Kopi memberi saya hidup sejahtera. Saya bisa membuat rumah baru senilai Rp 45 juta dan biaya memasukkan anak ke SMA,” katanya.
Kopi memacu semangat Jajat (25), warga Kolelaga, belajar ilmu baru di kebun kopi milik Ayi. Lama menjadi buruh bangunan dengan upah Rp 25.000 per hari, ia kini terbiasa memilah dan mencuci biji kopi petik merah.
Tangan yang dulu terbiasa mencangkul atau mengaduk semen kini telaten memilah kopi terbaik. Jajat kini tengah belajar teknik pembuatan biji beras kopi hingga menanam pohon kopi dari Ayi. (Cornelius Helmy).
sumber: kompas