hermankhaeron.info – Keinginan perupa yang juga penemu teknik batik lem Ade Supriyadi, mencari ikon baru Kota Cirebon membawa Ade kepada ide dan inovasi membatik di atas media kulit, yang bisa menghasilkan beragam produk seni kriya.
Di tengah obsesinya untuk bisa menghasilkan produk seni kriya yang bisa menjadi ikon Kota Cirebon, Ade mulai bereksperimen dengan teknik batik lem temuannya. Eksperimen yang dilakukannya akhirnya berujung kepada ide dan inovasi Ade untuk membatik di atas media kulit, yang selama ini mustahil dilakukan dengan teknik membatik konvensional.
“Dengan teknik membatik konvensional, membatik di atas media kulit tidak akan mungkin bisa dilakukan,” katanya saat ditemui di “bengkel” kerjanya di kawasan Perumnas Kota Cirebon akhir pekan lalu.
Karena, katanya, saat harus melunturkan malam, media kulit harus direbus. “Kulit kalau direbus ya pasti mateng kan. Bukannya jadi produk seni kriya malah jadi sayur krecek,” katanya berseloroh.
Namun dengan teknik batik lem yang revolusioner ini, kegiatan membatik bisa diterapkan di semua media, bahkan di media kulit yang selama ini mustahil dilakukan. “Kalau membatik dengan teknik lem, untuk melunturkan lem, kulit cukup dicuci dengan air atau disikat,” katanya.
Batik lem adalah formula sederhana temuan Ade Supriyadi. Dengan batik lem, membatik tidak identik lagi dengan canting, malam dan nyala api.
Media perintang batik tidak lagi dengan menggunaan malam yang dipanaskan, kemudian memakai canting untuk melukisnya, tetapi dengan formula sederhana campuran lem kertas, cairan pembersih lantai dan ampas kopi atau kopi, yang dalam istilah Ade yakni batik lem.
Sebagai alat untuk melukis digunakan botol kecil, yang ujungnya dilubangi dan diberi potongan batang cotton bud, yang memiliki lubang. Sehingga seperti ujung pena, yang mengalirkan formula dari dalam botol kecil ke media yang akan digambari motif batik.
Untuk meluruhkan atau menghilangkan malam, juga tidak harus dengan cara direbus, tetapi cukup dicuci dengan air. Teknik mewarnainyapun bisa langsung dilakukan di atas media batik.
Sebagai warga Kota Cirebon yang kebetulan dianugerahi bakat melukis dan bidang seni lainnya, Ade “iri” dengan daerah lain yang memiliki ikon produk kerajinan atau memiliki motif atau bentuk tertentu, yang menjadi identitas dan bisa mewakili daerahnya.
Sementara Cirebon, sebagai wilayah yang sarat dengan peninggalan sejarah dan budaya, di bidang seni kriya hanya mengandalkan topeng dan batik. “Sementara topeng dan batik juga dimiliki daerah lain, sehingga tidak bisa menjadi identitas atau ikon Cirebon,” ujar Ade.
Ade memiliki obsesi, Cirebon khususnya Kota Cirebon memiliki ikon seni kriya sehingga bisa menjadi identitas kota. “Sehingga tanpa ada nama atau embel-embel Cirebon pun, orang sudah mengidentikan produk seni kriya tersebut dengan Cirebon,” katanya.
Ade berencana menggelar hasil karyanya batik kulitnya dalam pameran yang akan menampilkan sejumlah hasil kreasi batik di sejumlah media, dari mulai kain, kanvas sampai kulit, bulan Mei 2017 mendatang. Untuk batik di atas media kulit juga akan menampilkan sejumlah produknya dari mulai dompet, ikat pinggang, tas, sepatu, jaket sampai interior ruangan seperti kap lampu.
“Saat ini saya sedang survey untuk mengetahui harga kulit yang siap dibuat sejumlah produk seni kriya,” katanya.
Ade akan bekerjasama dengan salah seorang anaknya, Fajar Septian Nugraha, mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Seni Kriya Kulit. Ade yang aktif mengunjungi sejumlah pameran di berbagai kota, tahu pasti standar pameran yang harus ditampilkannya