hermankhaeron.info – Asosiasi Petani Garam (APG) membutuhkan teknlogi geoisolator untuk meningkatkan produksi garam agar bisa mencukupi kebutuhan nasional. Ketua APG, Jakfar Sodikin mengatakan, saat ini mayoritas petani masih mengandalkan cuaca sehingga hasil panennya tidak menentu.
Jakfar mengatakan, petani tidak mampu membeli teknologi geoisolator yang cukup mahal. Satu petak garam seluas 1 hektar membutuhkan biaya sekitar Rp 20 juta untuk menggunakan teknologi tersebut. Sementara bantual modal dari Pemerintah tidak ada.
“Satu dari permodalan Petaninya tidak dibantu sama sekali oleh Pemerintah. Malah Pemerintah cenderung menyalahkan tengkulak-tengkulak garam di sini. Padahal tengkulak adalah mitra para petani garam. Itu masalah permodalan berikut pembiayaan,” kata Jakfar kepada KBR, Jumat (04/08/17).
Selain masalah modal, menurut Jakfar, petani garam membutuhkan dukungan kebijakan dari Pemerintah. Ia mengatakan, saat ini belum ada aturan mengenai harga acuan garam dari petani.
“Kedua masalah aturan dan kebijakan. Adakah aturan dari Pemerintah mengenai batasan harga terendah dari Petani Garam? Tidak ada. Padahal kami ini suplai dan demand-nya sangat kurang sekali,” kata Dia.
Jakfar menjelaskan, satu kali panen petani bisa menyediakan kebutuhan garam untuk delapan bulan. Namun stok garam yang berlebih itu tidak diantisipasi oleh Pemerintah. Sehingga saat ada penumpukan stok harga dari petani akan turun.
Dewan Perwakilan Rakyat menilai Pemerintah lambat untuk mengantisipasi kelangkaan garam nasional. Hal itu mengakibatkan langkanya stok garam nasional, yang menyebabkan keran impor garam yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Wakil Ketua Komisi IV, Herman Khaeron mengatakan, dari potensi 80 kilometer panjang garis pantai, seharusnya potensi garam indonesia sangat tinggi. Namun menurut dia, pemerintah tidak memaksimalkan hal itu, sehingga keran impor terpaksa dibuka.
Ia menjelaskan, seharusnya pemerintah melanjutkan program garam rakyat (Pugar) yang sukses mencukupi kebutuhan garam nasional pada 2011-2012 lalu.
“Dengan program itu ada yang dialokasikan ekstensifikasi dan intensifikasi. Intensifikasi itu melihat kualitas hasil garam rakyat, sedangkan ekstensifikasi perluasan lahan tambak. Dulu perubahan lahan tambak udang, ikan menjadi tambak garam sangat berhasil dan hasilnya meningkat. Buktinya 1,7 juta konsumsi garam bisa terpenuhi,” katanya saat dihubungi KBR, Jumat (04/08/17)
Terkait rencana swasembada garam yang sekarang digencarkan, kata Herman, proses ekstensifikasi memang harus dilakukan. Hal itu tentunya akan sangat bisa mencukupi kebutuhan swasembada garam konsumsi dan industri.
“Kalau dengan program Pugar saja kita bisa mencukupi garam konsumsi, semestinya bisa dikejar untuk swasembada garam industri,” jelasnya.
Perluasan Lahan
Pemerintah berencana mengembangkan produksi garam di luar Jawa untuk mengurangi impor garam. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan, tiga wilayah utama yang akan dijadikan proyek rintisan yakni NTT, NTB dan Sulawesi Selatan.
Kata dia, tiga wilayah ini memiliki lahan yang luas untuk memproduksi garam dengan teknologi terbaru. Dibutuhkan 15 ribu hektar lahan untuk memproduksi garam yang mampu memenuhi kebutuhan nasional.
“Ke depan, rencananya kita sudah tidak impor garam lagi. Kalau ini berhasil. (Produksi garam nasional) 50 ribu ton setahun, sementara kita impor 2 jutaan ton. Nah kalau kita diseminasikan ke beberapa daerah, misalkan NTT, NTB, Sulsel, yang kebetulan juga di sana, curah hujannya kan jarang, memang lebih bagus lagi. Itu bisalah,” kata Unggul di rumah dinas Wakil Presiden, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (4/8/2017).
Unggul menambahkan, pemanfaatan teknologi baru ini diyakini mampu mempercepat waktu panen garam dari 12 hari menjadi 4 hari. Rencananya, PT Garam juga akan dilibatkan dalam program ini.
“Ada bak untuk mengkonsentrasi garam, meningkatkan kandungan garam, jadi itu tugasnya PT Garam lah itu nanti. Jadi nanti petani sudah tidak lagi memulai dari awal. Dan tidak membutuhkan 12 hari atau 14 hari, tapi cukup 4 hari, dengan demikian dia bisa panen terus,” tuturnya.
Kementerian Kelaudan dan Perikanan (KKP) memastikan perluasan lahan di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk industrial garam sudah pasti dilakukan. Hal itu setelah PT Garam menyanggupi untuk melakukan perluasan itu.
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP, Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan, untuk jumlah perluasan masih dalam pembahasan PT Garam. Saat ini, menurutnya, lahan yang tersedia di NTT baru sekitar 400 hektar untuk industrialisasi garam.
“Intinya kita harus mempercepat swasembada garam. PT Garam harus jadi leading sektor terkait dengan industrialisasi garam. Programnya untuk perluasan lahan di NTT itu sedang dibahas berapa jumlahnya, dan teknologinya nanti akan dibantu sama Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT),” katanya saat dihubungi KBR, Jumat (04/08/17).
Terkait penolakan dari warga, lanjut Bramantya, itu nantinya akan diselesaikan oleh PT Garam. Yang jelas, kata dia, percepatan perluasan itu hal yang harus segera dilakukan.
“Saya tidak tahu kalau penolakan, yang jelas PT Garam sudah bersedia untuk perluasan. Berapa perluasannya, itu yang masih dalam bahasannya,” singkatnya.
sumber: kbr.id