Wakil Ketua Komisi VII DPR, Herman Khaeron mendesak pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) segera direalisasikan. Namun, perlu payung hukum yang lebih kuat.
“DPR bersama pemerintah perlu menyiapkan payung hukum yang lebih kuat bagi pengembangan EBT serta secara paralel menyiapkan regulasi turunan dari UU seperti PP, perpres, dan permen untuk implementasi UU tersebut,” kata Herman dalam diskusi publik menjelang Munas Ke-10 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Kamis (9/11/2017).
Menurut politisi Demokrat ini, urgensi payung hukum EBT yang lebih kuat, lantaran Indonesia masih mengandalkan energi fosil yang tidak terbarukan yang bakal habis.
Di sisi lain, lanjut Hero, sapaan akrabnya, kebutuhan energi akan terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi.
Pertimbangan lain, kata Hero, adalah Indonesia memiliki potensi EBT seperti panas bumi, air, surya, biofuel, dan angin yang melimpah, namun belum termanfaatkan dengan optimal.
Di samping juga, menurut dia, tuntutan pemanfaatan energi, yang ramah lingkungan, secara global makin meningkat seiring kesadaran dunia menjaga kelestarian lingkungannya, sehingga pengembangan EBT makin relevan.
Hero menambahkan, saat ini, payung hukum yang dimiliki, hanyalah PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam beleid ini menyatakan, target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.
Sementara, mantan Menteri ESDM Sudirman Said yang didaulat menjadi pembicara, mengatakan, pengembangan EBT merupakan suatu keharusan. “Kekuatan EBT adalah wujud kedaulatan energi yang berkelanjutan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengembangkannya dari sekarang,” kata Sudirman.
Menurut Sudirman, saat ini, dari kapasitas terpasang pembangkit listrik 60.148 Mega Watt (MW), hanya 8.900 MW yang bersumber dari EBT. Jadi, masih sangat rendah pemanfaatannya.
Dengan demikian, lanjutnya, kontribusi EBT dalam bauran pembangkit listrik hanya 2%. “Padahal, Indonesia mempunyai potensi EBT untuk pembangkit sebesar 441,7 GW,” kata Sudirman.
Sudirman menambahkan, pengembangan EBT menjadi sulit dikarenakan adanya vested interest, politik populis, dan cara pandang myopic. “Oleh karena itu, perlu adanya integritas, konsistensi, dan kompetensi dalam mengembangkan EBT agar benar-benar bisa terwujud kedaulatan energi yang berkelanjutan,” kata Sudirman. [tar]
sumber : inilah