hermankhaeron.info – Berbagai pihak mempertanyakan produksi sejumlah komoditas pertanian yang naik, tidak berimplikasi positif terhadap kesejahteraan petani. Hal ini ditunjukkan dengan tren penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani.
“Jika produktivitas naik, ada input produksi seperti subsidi pupuk, benih, bantuan traktor, dan memutus mata rantai melalui serapan Bulog, seharusnya ada nilai tambah bagi petani. Namun, yang terjadi kesejahteraan petani semakin menurun. Ini ada apa?,” tutur Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron dalam diskusi Kebijakan Pertanian: Membenahi Data Pertanian dan Pangan Nasional yang diselenggarakan HKTI dan Forum Wartawan Pertanian.
Herman sekaligus mempertanyakan data pertanian yang dikeluarkan pemerintah. Dia mencontohkan capaian produksi gabah kering panen sebesar 79,1 juta ton atau setara 47 ton beras, seharusnya dapat menutup kebutuhan beras nasional sebesar 33 juta ton, dihitung dari kebutuhan 124 kg per kapita per tahun. Namun, data di lapangan menunjukkan harga beras terus naik dan tertinggi dari harga internasional.
“Hakekatnya pembangunan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga saatnya pemerintah melakukan reorientasi yakni kesejahteraan petani, dari sebelumnya mengejar tingkat produksi,” imbuhnya.
Dia meyakini kesejahteraan petani yang meningkat, maka dengan serta merta akan mendorong produksi. Dalam masa sidang baru ini, Herman akan memanggil Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk menjelaskan kondisi yang terjadi.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyampaikan disparitas harga menunjukkan adanya persoalan pasokan dan pemintaan. Dia tidak sepakat jika tingginya harga suatu komoditas karena ulah mafia semata, seperti yang disampaikan pemerintah belakangan ini. Tingginya harga sejumlah komoditas, imbuh Faisal, tidak berimplikasi pada kesejahteraan petani yang tercermin melalui NTP.
“Harga adalah datang yang paling bisa dipercaya. Karena harga adalah hasil interaksi antara supply and demand,” imbuhnya.
Bagi Sekjen HKTI Sadar Subagyo, anggaran pertanian terhitung salah satu yang paling besar seharusnya linier dengan hasil pertanian. Namun, carut-marutnya data pertanian berakibat pada perencanaan yang tak matang.
“Tanpa ada data yang benar, perencanaan apapun akan melesat,” katanya.
Keresahan yang sama juga dirasakan Ketua Bidang Data Non Komoditas Pudatin Kementan Dewa Cakrabawa yang ingin memperoleh data akurat. Dengan anggaran terbatas, laporan pandangan mata masih menjadi andalan pemerintah untuk memperoleh data pertanian.
“Metode yang kami miliki dengan anggaran yang ada, itu masih lebih baik. Sementara pengumpulan data dengan sampling maupun survey membutuhkan anggaran cukup besar. Sementara pandangan mata hanya Rp200.000 per bulan per petugas,” tuturnya.
Sumber: bisnis.com