Kurang dari satu tahun, Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi, yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Untuk itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron membeberkan beberapa tindakan kecil yang menurutnya memungkinkan terjadi tindakan kecurangan pada proses rekapitulasi suara.
“Pernah terjadi saat penghitungan suara listrik tiba-tiba padam,” kata Herman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Dukcapil, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (30/8/2018).
Ia juga mencontohkan kondisi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), pada batas akhir pencoblosan surat suara pukul 13.00, saksi dibiarkan saja oleh panitia supaya jenuh dan tidak betah di area TPS. Bisa juga saksi diberi nasi kotak, agar saksi tersebut segera pulang ke rumah. Sedangkan di TPS tersebut masih tersisa surat suara siap digunakan untuk melakukan kecurangan.
“Kalau saja 70 persen masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, masih ada sisa 30 persen ditambah 2,5 persen surat suara cadangan, ini menurut saya juga menjadi ruang kerawanan pelanggaran pemilu,” tambah politisi Partai Demokrat ini.
Belum lagi permasalahan kunci kotak suara setiap saat bisa saja berubah dan dibuka. Ditambah lagi tempat menginapnya kotak suara yang terkadang luput dari pengawasan KPU dan Bawaslu terlebih di daerah pelosok Indonesia.
Politisi dapil Jawa Barat ini menambahkan KPU juga harus bisa mengantisipasi bila ditemukan adanya aktifitas pemanfaatan sisa surat suara serta menggeser suara. Pergeseran suara baik itu antar calon legislatif (caleg) dalam satu partai, bahkan mungkin juga dilakukan lintas partai yang tidak ada saksinya.
“Kalau boleh, saya mengusulkan agar KPU menganggarkan pemanfaatan Closed Circuit Television (CCTV) untuk ditempatkan di titik-titik rawan terjadi kecurangan,” usul mantan Pimpinan Komisi VII DPR RI ini. (es/sf)
sumber: dpr.go.id