Pemerintah berencana untuk menggodok regulasi mengenai fleksibilitas kerja bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan regulasi tersebut, PNS dimungkinkan untuk bekerja di luar kantor atau dari rumah.

Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI Herman Khaeron menilai regulasi tersebut tak akan cocok jika diterapkan di Indonesia. Menurutnya, sistem PNS bekerja dari rumah lebih efektif dilakukan di negara dengan jumlah pertumbuhan penduduk yang masih terkendali.

Selain itu, Herman menyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh PNS saat ini masih jauh dari harapan publik. Alih-alih membuat regulasi agar PNS bisa bekerja dari rumah, ia menganggap peningkatan kinerja lebih dibutuhkan saat ini.

“Sekarang saja menuju pelayanan publik yang prima saja masih belum terwujud. Kalau saya boleh mengkritik, pelayanannya masih separuh dari sebuah pelayanan yang dianggap prima,” ,” katanya Saat On Air di Radio PRFM 107,5 News Channel, Minggu (11/8/2019) malam.

Herman menambahkan, pola penilaian terhadap kinerja PNS masih bercermin pada kehadiran di kantor. Meskipun akhirnya dibangun sistem pelayanan publik secara online, PNS harus tetap melakukan pekerjaanya dari kantor yang sewaktu-waktu bisa ditangani oleh masyarakat.

“Sistem PNS itu dibangun dari sebuah sistem yang seragam. Mereka melayani masyarakat dengan jumlah yang banyak, tentu masih membutuhkan kantor,” tutup politikus Partai Demokrat tersebut.

sumber: prfmnews

DPR Dorong Pemerintah Berdayakan Petambak Garam

hermankhaeron.info – Fenomena kelangkaan garam saat ini menjadi perhatian wakil rakyat di Senayan. Perlu upaya meningkatkan pemberdayaan para petani garam karena secara potensi di Indonesia cukup melimpah.
“Kami akan berupaya agar pemerintah meningkatkan pemberdayaan para petambak garam,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron, di sela-sela sosialisasi Undang-Undang Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam di aula Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, Jumat (28/7).

Politikus Partai Demokrat itu mengaku Komisi IV telah mendorong pemerintah pusat mengalokasikan anggarannya untuk meningkatkan pemberdayaannya. Upaya pemberdayaan itu misalnya bisa dilakukan dengan membentuk kelompok petambak garam. Bisa juga dengan cara membentuk industri-industri rumahan. “Dengan begitu maka potensi garam bisa terus dimaksimalkan,” tukasnya.

Sebetulnya, lanjut Herman, kualitas garam dari para petambak tradisional bersaing dengan impor. Hanya saja tak sedikit masyarakat lebih memilih menggunakan garam impor daripada mengonsumsi produk lokal. “Kami sempat mengunjungi petambak garam tradisional. Ternyata kualitasnya sangat bagus. Sayangnya, masyarakat lebih memilih menggunakan garam impor,” jelasnya.

Kondisi tersebut berdampak terhadap harga garam tradisional yang sulit terkantrol. Saat musim panen, harga garam mentah hanya dibanderol pengepul dari para petambak rata-rata Rp280 per kilogram. “Sekarang dihargai Rp1.250 per kilogram. Tapi di pasaran bisa mencapai Rp2.000 per kilogram,” bebernya.

Dengan adanya upaya pemberdayaan itu, sebut Herman, maka ke depan Indonesia tak perlu lagi mengimpor garam. Pemerintah bisa memaksimalkan pemberdayaan para petambak garam tradisional sehingga bisa menghasilkan produk berkualitas yang berdaya saing dan bernilai jual tinggi. “Kalaupun petambak kekurangan modal, mereka bisa mendapatkan bantuan modal lunak tanpa agunan. Jika sudah bisa seperti itu, kami yakin Indonesia tak perlu lagi mengimpor garam,” tegasnya.

Ke depan, Herman juga berharap ada penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap komoditas garam. Minimalnya HPP garam di kisaran angka Rp750 per kilogram. “Mudah-mudahan target kami agar pada 2018 tidak ada lagi impor garam bisa terwujud,” imbuh Herman.

Konsep Undang-Undang Nomor 7/2016 itu sendiri lebih diarahkan kepada perlindungan untuk membantu nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan usaha perikanan atau usaha penggaraman. Sehingga nantinya mereka tak kesulitan mendapatkan akses permodalan, teknologi, pasar, hukum dan lainnya, yang menjadi masalah klise kalangan nelayan. “Berbagai permasalahan itu jadi prioritas dalam undang-undang ini,” sebutnya.(hyt)

sumber: sukabumiekspress