hermankhaeron.info – Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron mengingatkan para dirjen di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak memberikan data salah kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita terkait gula hasil petani. Dia mengingatkan, tidak boleh ada bisikan yang bisa menyebabkan Menteri Enggar mengambil kebijakan yang merugikan petani.
“Kami Komisi IV DPR mengapresiasi Menteri Perdagangan, karena Beliau sangat dekat dengan Komisi IV. Setiap masukan kami untuk petani ditindaklanjuti. Tapi, jangan ada bisikan-bisikan setan sehingga (Mendag) ambil keputusan cepat yang dapat merugikan petani kita,” ucap Herman di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/9).
Peringatan Herman itu terkait kebijakan Kemendag yang melakukan penyegelan terhadap pabrik gula di Cirebon, Jawa Barat, yang dianggap tidak memenuhi standar layak konsumsi. Penyegelan ini menjadi pro-kontra karena berimbas kepada gula para hasil petani lokal.
Herman sangat menyesalkan peristiwa penyegelan itu. Sebab, penyegelan itu berimbas pada citra tebu nasional. Apalagi, penyegelan itu dilakukan di tengah kemampuan produksi petani tebu yang cukup minim, yakni 4 ton per hektar per tahun. Harganya pun tidak terlalu menarik, karena masih kalah jauh dari gula impor yang banyak beredar di masyarakat.
“HPP (harga pokok pembelian) petani itu cuma Rp 9.700 per kilogram. Harga Rp 9.700 ini kalah dari petani padi yang bisa panen dua kali panen. Kalau HPP beras saja misalnya mencapai Rp 9.450 kilogram, ini hampir equal dengan petani tebu yang usaha setahun. Petani tebu itu menghasilkan 4 ton gula. Harga Rp 9.700, sama dengan 4 ton beras bersih. Sementara, beras itu juga yang bisa mencapai Rp 13.000 ribu per kilogram sehingga penetapan HPP Rp 9.700 untuk tebu tidak adil,” kata politisi Demokrat ini.
Beban para petani tebu, sambung dia, semakin berat ketika dihadapkan pada kewajiban labelisasi SNI. Padahal, syarat untuk mendapat SNI sangat berat. Tapi, Pemerintah tetap melakukan penyegelan terhadap pabrik gula yang belum memiliki label SNI. Padahal, penyegelan itu berefek negatif kepada gula rakyat.
“SNI ini jadi image negatif bagi rakyat dan memberikan efek jelek karana tiba-tiba ada policeline lantaran dianggap membahayan pangan kita. Padahal, SNI maupun Icumsa (International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis) itu belum ada kepastian apa bahayakan kesehatan masyarakat atau tidak,” katanya.
Icumsa gula rakyat, tambah Herman, bukan semata-mata karena produk. Hal itu juga dapat naik akibat menyimpan yang telalu terlalu lama di gundang. Langkah itu juga bukan diinginkan petani. Langkah itu terpaksa diambil karena harga gula rakyat tersebut terlalu rendah untuk dijual.
“Kalau gula rafinasi, ya jelas lebih unggul. Sementara, mesin pengolah gula milik PT RNI saja itu sudah kolot dan reot. Jadi, Icumsa naik ini karena gula disimpan lama akibat harganya yang rendah. Padahal, petani kita panennya setahun sekali dan harganya equal dengan beras,” jelasnya. [rus]
sumber: rmol