Komisi VII Terima Aspirasi Gubernur Babel Terkait Pertambangan

Komisi VII DPR RI mengadakan pertemuan dengan Gubernur Provinsi Bangka Belitung dan jajarannya guna membahas beberapa hal yang terkait dengan perusahaan benefit hasil tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Herman Khaeron mengatakan, pada policy yang lama, lebih menguntungkan daerah. Namun kebijakan yang berlaku saat ini dianggap kurang menguntungkan daerah.

“Sebelumnya daerah memiliki otoritas, sekarang tidak memiliki otoritas, karena ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2015 yang terkait dengan bursa timah, dimana hasil tambang timah yang belum menjadi timah murni, itu wajib diperdagangkan melalui bursa,” ucap Herman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (24/01/2018).

Menurut Herman, semestinya hal itu menambah keuntungan atau benefit bagi daerah, tetapi berdasarkan hasil pengaduan yang disampaikan oleh Gubernur Babel beserta jajarannya itu, ternyata malah mengkebiri terhadap pendapatan asli daerah, dan ternyata tidak memberikan dampak efek turunannya.

“Misalnya, semua transaksi dilakukan di luar, tidak ada lagi transaksi yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung. Bahkan transaksi bisa dilakukan di luar negeri seperti di Singapura, yang pembayarannya dari Singapura langsung ke Jakarta,” jelasnya.

Hal itulah yang menjadi tuntutan Pemprov Babel, yakni agar dapat lebih menguntungkan lagi bagi rakyat, lanjutnya. “Harga timah sebetulnya bisa diatur oleh Pemerintah Daerah. Saat ini harga timah diatur oleh bursa, bursa semdiri tidak diketahui secara pasti dan tidak memberikan efek yang menguntungkan bagi masyarakat di sana,” ucap politisi F-Demokrat itu.

Herman juga memaparkan, dalam pengaduan lainnya, Gubernur Babel dan jajarannya menyampaikan bahwa ada tambang timah yang luasnya sekitar 64 ribu hektar, yang ada dalam penguasaan negara, melalui Wilayah Pertambangan Negara (WPN). Dan saat ini dituntut karena disana terjadi penambangan liar dan juga berbahaya, karena banyak dampak yang ditimbulkan dari ketidakteraturan pertambangan, atau dengan adanya tambang liar ini.

“Sehingga ada keinginan agar WPN diubah menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR), yang akan diatur oleh pemerintah daerah, baik BUMD  atau menunjuk perusahaan yang mampu mengelolanya. Mengenai potensinya juga harus dipertimbangkan, jangan sampai menjadi beban Pemerintah Daerah. Kami akan bicarakan dalam raker dengan Menteri ESDM agar ada kepastian kebijakan dan policy apa yang akan diambil terkait dengan dua persoalan tersebut,” pungkasnya. (dep/sf)

sumber: dpr.go.id