Harga BBM Masih Mahal, Pertamina dalam Dilema

Jakarta – Terkait masih mahalnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia, Anggota Komisi VI DPR asal Partai Demokrat Herman Khaeron menyebut PT Pertamina (Persero) tengah dilanda dilema. Lho?

“Kalau merujuk pada formula, semestinya harga sudah turun. Tetapi memang kondisi pertamina sedang mengalami triple shocks, yaitu harga minyak mentah yang anjlok, permintaan BBM menurun, dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” tegasnya, Jakarta, Senin (11/5/2020).

Alhasil, lanjut Herman, penurunan harga BBM di tanah air menjadi terhambat. Padahal, daya beli rakyat saat ini, mengalami pelemahan sebagai dampak Pandemi COVID-19. Seharusnya, pemerintah memikirkan untuk menurunkan harga BBM. “Mungkin ini (triple shocks) menjadi penghambat diturunkanya harga BBM,” kata Herman.

Sebelumnya, Sekjen GNPF-Ulama, Edy Mulyadi merasa heran dengan masih mahalnya harga BBM di Indonesia, padahal harga minyak dunia sudah terjun bebas. “Harga minyak dunia sudah terjun. Sejumlah negara sudah berkali-kali menurunkan harga BBM. Di Amerika saja, harga BBM setara premium hanya Rp2.500 per liter. Sementara di malaysia, BBM selevel pertamax cuman Rp4.420 per liter. Indonesia kok masih mahal?” tegasnya, Jakarta, Minggu (10/5/2020).

Kalau dilakukan perbandingan, lanjut mantan wartawan senior itu, harga BBM di Indonesia tergolong sangat mahal. Akibatnya, kantong rakyat Indonesia terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan BBM. “Dalam dua bulan, rakyat Indonesia kelebihan bayar Rp13,75 triliun dari BBM yang kemahalan,” paparnya.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Tegas sekali Edy menyebut rezim Joko Widodo, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan Dirut Pertamina Nicke Widyawati. “Sampai kapan penguasa dan Pertamina terus menerus merampok rakyat. Kalau memang tidak bisa membantu, jangan menyusahkan apalagi mendzalimi,” tegas Edy.

Selanjutnya dia berpesan begini. “Jabatan dan kekuasaan yang kalian banggakan, pada saatnya akan berakhir. Takutlah kalian dengan azab Allah yang tak hanya di dunia tapi di akhirat,” pungkas Edy. [ipe]

sumber: inilah

Baca juga:

Herman Khaeron: Sektor Perbankan Dilarang Sakit

Tiga Langkah Hadapi Potensi Ancaman Arus Barang Produk Pertanian

Panitia Kerja Migas Komisi VII DPR RI yang dipimpin langsung oleh Ketua Panja Komisi VII DPR Herman Khaeron meninjau langsung Kantor Pertamina Pusat di Jakarta. Kunjungan ini guna melihat sejauh mana ketahanan energi nasional, dan kemampuan Pertamina untuk mensuplay serta mendistribusikan bahan bakar ke seluruh Indonesia.

Tim Komisi VII melakukan pengecekan di control room semuanya berjalan dengan baik. Menurut Herman stok masih cukup aman, bahkan ada yang samapi 67 hari.
Dalam kunjungannya Komisi VII menyampaikan dukungan kepada Pertamina agar menjadi BUMN yang kuat. “Mendorong agar Pertamina ini menjadi BUMN yang kuat, yang menunjukkan kebesaran sebuah negara. Indonesia ini kan negara besar, ya harus kuat pertaminanya,” ungkap Herman di Kantor Pertamina, Jakarta, Selasa (13/2).

Dia juga menyarankan agar control room Pertamina diperbaiki. “Bagaimana Pertamina mengintegrasikan dengan hulu, supaya semua persoalan termonitor dalam satu ruangan. Room Controlnya harus segera diperluas,” ujar Herman.

Dalam kunjungan ini juga Komisi VII DPR ingin mengetahui respon Pertamina terhadap energi yang berbasis non fosil, guna penyusunan energi baru, terbarukan.

“Pada sisi lain kami juga sedang mempersiapkan untuk menyusun rancangan undang-undang energi baru terbarukan. Kita juga meminta masukan dari Pertamina, sejauh mana merespon terhadap energi yang basisnya non fosil,” jelasnya.

Herman juga memberikan respon positif terhadap misi Presiden Joko Widodo yang sedang berusaha membangun Pertamina menyaingi Petronas. “Ketika Presiden mencanankan ketahanan energi menjadi prioritas untuk pembangunan ini, Pertamina mempunyai tugas besar untuk itu,” paparnya.

Herman mengatakan rapat di Pertamina dalam rangka merumuskan masa depan negeri ini, sekaligus merumuskan masa depan Pertamina.

Komisi VII selalu berusaha untuk kemajuan Pertamina, kalau kemampuan pertamina semakin turun tentu ini akan memperlemah akselerasi investasi, dan dalam jangka waktu yang panjang ini juga akan mengurangi deviden negara.

“Jadi kuncinya, bagaimana meningkatkan komunikasi dan koordinasi di antara pemangku kepentingan, kami yang berada di institusi politik,” ungkap Herman. (rom)

sumber: wartatransparansi