RUU Energi Baru Terbarukan Tak Akan Rampung Tahun Ini

Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan menegasakan aturan tersebut tidak tumpang tindih dengan sektor kehutanan. RUU tersebut hanya mengatur hak kepemilikan tanah yang berada di luar sektor kehutanan.

“RUU Pertanahan mengatur tentang kawasan tanah yang berada di luar area kehutanan,” tegas Ketua Panja RUU Pertanahan, Herman Khaeron saat ditemui usai acara ATR/BPN Goes To Campus di Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamis (15/8).

Herman mengatakan apabila ada perizinan tanah di dalam kawasan hutan, maka prosesnya berada di kementerian terkait yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Terkait wilayah tanah masyarakat adat akan mendapatkan sertifikat komunal. Selama masyarakat adat masih diakui oleh negara, maka mereka mendapatkan sertifikat tersebut.

Sertifikasi komunal adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam kepemilikan bersama atas pengelolaan tanah baik dari sisi pengusahaannya maupun produksinya.

“Di dalam RUU Pertanahan, masyarakat adat akan diberikan oleh negara berupa sertifikat komunal selama mereka diakui oleh negara selama masa wilayahnya masih dalam kondisi baik atau berlaku. Namun untuk mekanisme pemberian sertifikat, masih dirundingkan apakah berada di pemerintah daerah atau pusat untuk penataan tata ruang” ujarnya.]

 

sumber: gatra

DKPP Perlu Bentuk Satuan Kerja Tersendiri

Sejumlah pihak mendesak DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dengan berbagai alasan.

Kendati demikian, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan DPR Herman Khaeron menyatakan bahwa RUU ini sudah dibahas secara komprehensif.

Politikus Partai Demokrat itu yakin pembahasan RUU Pertanahan tuntas dan disahkan pada September 2019 atau akhir periode 2014-2019. “Insyaallah selesai,” tegas Herman, Minggu (28/7).

Herman mengatakan mekanisme penyusunan RUU ini dilakukan oleh DPR dan pemerintah yang diwakili Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kemendagri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Menurut Herman, RUU Pertanahan sudah dibahas selama tujuh tahun. Tiga tahun di periode 2009-2014, dan empat tahun pada masa jabatan 2014-2019.

Wakil ketua Komisi II DPR itu menambahkan, dalam melakukan pembahasan RUU itu pihaknya melakukan konsultasi publik di beberapa perguruan tinggi. Baik pada tahap penyusunan maupun pembahasan termasuk ke Universitas Padjadjaran, serta pihak-pihak terkait dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“RUU ini dibuat agar pertanahan memenuhi rasa keadilan rakyat, kepastian hukum, kepastian investasi, dan pengaturan lainnya termasuk tanah adat,” ungkap Herman.

Wakil ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat itu tidak mempersoalkan kritikan dari masyarakat, bahkan yang meminta pengesahan RUU Pertanahan ditunda. Menurut Herman, kritik itu tentu akan menjadi bahan perbaikan.

“Kalau banyak pihak yang mengkritisi saya ucapkan terima kasih dan sebagai bahan perbaikan,” imbuh Herman.(boy/jpnn)

sumber: jpnn

Herman Khaeron: Pengembangan EBT Butuh Payung Hukum yang Kuat

Rancangan Undang – Undang (RUU) Pertanahan ditargetkan rampung pada September 2019, yang saat ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan, Herman Khaeron mengatakan, perdebatan RUU tersebut saat ini sudah tidak ada. Dari 15 bab, sudah terselesaikan 6 bab.

“Secara subtansi ada di 6 bab ini, sehingga Insya Allah sebelum pertengahan September sudah selesai,” ujar Herman di Jakarta, Rabu (9/7/2019).

Menurutnya, RUU ini sangat penting dan bermanfaat bagi negara dalam memberikan sebuah kepastian bagi semua pihak serta menghindarkan terjadinya konflik ke depannya.

“Kalau ini sudah jadi undang-undang, maka bukan undang-undang Kementerian ATR, tetapi undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tuturnya.

Di tempat yang sama, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan, salah satu substansi yang diatur dalam RUU Pertanahan yaitu terciptanya pendaftaran tanah menuju single land administration dan sistem positif.

Menurutnya, hal tersebut sangat penting untuk diatur karena selama ini objek pendaftaran tanah yang dilakukan tidak meliputi kawasan hutan, pesisir, pulau-pulau kecil, waduk, hingga kawasan lindung dan konservasi.

Sehingga, pemetaan yang dilaksanakan tidak terintegrasi dalam sistem informasi pertanahan.

“Adanya sistem informasi pertanahan yang terintegrasi akan memudahkan pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pelaku usaha, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah secara optimal,” tutur Sofyan.

sumber: tribun