Partai Demokrat (PD) menilai langkah Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengumumkan penghapusan fasilitas kartu kredit bagi dewan direksi, komisaris, hingga manajer PT Pertamina terkesan politis. PD menyebut masalah kredit adalah persoalan internal Pertamina.

“Hal seperti itu menjadi kebijakan internal BUMN, silakan saja diputuskan yang terbaik bagi korporasi,” kata anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PD, Herman Khaeron, kepada wartawan, Rabu (16/6/2021).

Herman menilai harusnya Ahok sebagai Komut Pertamina hanya menyampaikan di internal direksi. Sehingga Herman menilai fasilitas kredit yang akhirnya diketahui publik itu bersifat politis.

Sebelumnya, Ahok menghapus fasilitas kredit bagi pejabat Pertamina. Ahok mengatakan fasilitas kartu kredit tersebut memiliki potensi penyalahgunaan yang besar.

“Kontrol dari kemungkinan pemakaian yang tidak tepat sasaran dan tidak ada hubungannya dengan memajukan kinerja perusahaan,” ungkap Ahok ketika dihubungi detikcom, Selasa (15/6).

sumber : detik

 

Kang Hero: Pertamina Harus Integrasikan Anak Perusahaan dalam Pembangunan JTB

Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron melakukan evaluasi terhadap proyek pembangunan jaringan gas (jargas) Jambaran-Tiung Biru (JTB) milik Pertamina. Menurutnya PT Pertamina sebagai induk perusahaan harus dapat mengintegrasikan anak-anak perusahaannya, yakni Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Marketing Operation Regional (MOR) untuk berpartisipasi dalam pembangunan JTB tersebut.

Hal ini dinyatakannya usai pertemuan antara Panja BUMN Energi Komisi VI DPR RI dengan PT Pertamina (Persero) di Kantor Pertamina Building Surabaya, Jawa Timur, Kamis (27/5/2021). Menurutnya, baik PGN, MOR, dan Pertamina sama sekali belum paham mengenai tugasnya dalam core business ini, sehingga penjelasan ketiga pihak tersebut dalam pertemuan ini menjadi cenderung tidak komprehensif.

“Sumbernya ada di Jambaran Tiung Biru. PGN harus berbicara semestinya gas sale terkait dengan potensi yang didapatkan dari Tiung Biru, kemudian bagaimana juga MOR terkait dengan persoalan hasil Tiung Biru, kalau tidak ada hubungannya, apa yang kemudian menjadi kekuatan masing-masing,” kata politisi yang akrab disapa Hero ini seolah bertanya.

Menurut politisi Partai Demokrat ini, bisnis sektor gas merupakan tantangan tersendiri ke depan. Sebab, penggunaan elektrifikasi seperti penggunaan alat masak dan alat elektronik sejenis mulai masif, sehingga ada potensi peralihan dari gas menjadi listrik. Otomatis permintaan di hilir tentang gas akan semakin berkurang.

“Kalau kemudian mereka terus merencanakan peningkatan pada sektor hilir, hulu tidak diintegrasikan terhadap pemanfaatan hilir, kemudian sisi lain ada program secara masif dari listrik, tentu ini menjadi tantangan tersendiri,” ujar legislator dapil Jawa Barat VIII itu.

Hero menyampaikan, sebaiknya diciptakan program satu atap, yaitu Pertamina, PGN, dan Patra niaga digabung sebagai unit pengelola bisnis di sektor hilir. “Ini betul-betul harus komprehensif, kalau tidak komprehensif kami akan menilai darimana ada sinergitas antar unit ini, jangankan antar BUMN, antar unit saja sudah tidak ada sinergi,” tandas Hero. (eno/er/sf)

sumber: dpr

BADAN Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih menunggu Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law. Pemerintah diharapkan segera menyerahkan draf tersebut.

Kendati demikian, DPR juga tidak ingin mendesak pemerintah agar penyerahan dilakukan dengan cepat, namun isi tidak maksimal.

Anggota Baleg, Herman Khaeron, mengatakan pada dasarnya bukan persoalan cepat atau lambat penyerahan draft. Hal yang paling disoroti ialah isi dan substansi dari RUU yang akan menyelaraskan ratusan aturan tersebut.

“Jadi memang bukan masalah cepat atau lambat. Tetapi, harus memenuhi prosedur dan urgensinya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Herman ketika dihubungi, Minggu (8/2).

Sebelum diserahkan kepada DPR, lanjut Herman, pemerintah sebaiknya juga memerhatikan berbagai hal terkait draft tersebut. Mulai dari kelengkapan naskah akademik, hingga sosialisasi di masyarakat.

“Omnibus Law selain draf dan naskah akademiknya harus siap, juga harus disosialisasikan dan ada konsultasi dengan berbagai elemen masyarakat,” pungkasnya.

Dia menekankan pengguna undang-undang adalah masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus diberikan informasi yang memadai, sebelum RUU dibahas dan ditetapkan di DPR bersama pemerintah.

“RUU ini penting juga untuk merespons terhadap gagasan dan masukan masyarakat,” tutup Herman.(OL-11)

sumber: mediaindonesia